PT. Sutra Marosi Kharisma dan Suku Obu Oleta Sepakat
Sumba Barat (MA)- Beradasarkan fakta sejarah dan pengakuan masyarakat suku Ubu Oleta menyatakan bahwa tanah yang tepatnya di pesisir pantai mambang sebelum masa pasca reformasi dijadikan sebagai tempat hewan pemiliharaan masyarakat setempat dalam hal ini suku ubu oleta, sehingga sampai saat ini masyarakat ubu oleta tidak mengajukan permohonan untuk diterbitkan sertifikat dari tanah tersebut ke badan pertanahan nasional (BPN) Kabupaten Sumba Barat.
Seiring berjalannya waktu pada tahun 1992 masyarakat didatangi oleh pihak PT. Sutra Marosi Kharisma untuk melakukan pengukuran sesuai garis batas tanah milik masyarakat Suku ubu oleta ( kepala suku Bapak Gallu Wola Kobu) atas dasar kesepakatan secara lisan anatara kepala suku ubu oleta dengan PT. Sutra Marosi Kharisma dalam bentuk Hak Guna Bangunan ( HGB).
Setelah awal perjanjian jangkah waktu 4 tahun (1993-1996) berjalan diterbitkan ijin usaha dan mulai berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) tepat pada tahun 1996 sejak di tetapkan oleh pemerintah kabupaten sumba barat.
Adapun Isi dari perjanjian HGB yang sudah di terbitkan menentukan bahwa PT.Sutra marosi melakukan kegiatan usaha selama 20 tahun dan berakhir pada tahun 2016. apabila selama 5 tahun berjalan sejak awal diterbitkan perjanjian dan tidak ada bangunan atau usaha di tanah tersebut, maka tanah dikembalikan kepada pemilik.
Setelah beberapa tahun kemudian badan pertanahan nasional dan kuasa hukum pemohon PT. Sutera marosi mendatangi kepala desa wetana bapak “Petrus Raga uma” untuk melakukan pengukuran tapal batas tanah di pesisir pantai mambang milik masyarakat Ubu oleta pada tahun 2018, sehingga saya sebagai kepala wilayah desa wetana menolak bahwa hak milik atas tanah dari PT. Sutera marosi tidak ada di desa wetana karena semua bukti-bukti legalitas hukum tidak di tunjukkan kepada pemerintah desa setempat dan pemilik tanah, sehingga di balik semua itu saya sebagai kepala pemerintah desa wetana menyurati BPN untuk melakukan klarifikasi hukum mengenai tapal batas tanah pesisir pantai mambang dan sampai saat ini tidak ada respons balik dari pemerintah terkait dari surat permohonan klarifikasi hukum atas status tanah terlantar dengan nomor ukur; 2562/96 tanggal, 25-10-1996.
Sesudah itu Badan pertanahan Nasional (BPN) Menyurati saya sebagai kepala wilayah yang ke dua kalinya tepat pada tanggal 18 juli 2020 untuk melakukan pengukuran di tanah tersebut, sehingga saya sebagai penanggung jawab wilayah dan masyarakat suku ubu oleta mengikuti mekanisme jalur hukum melalui dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kab. Sumba barat, supaya membatalkan surat dari BPN untuk tidak melakukan pengukuran tapal batas tanah tertanggal 21 juli 2020. Ungkap kepala desa wetana.
Dasar penolakan masyarakat ubu oleta dan pemerintah desa wetana pada saat mediasi dengan DPRD Kab. Sumba Barat pada tanggal 20 juli 2020 Sbb;
1. Pengukuran Tapal batas tanah yang dilakukan oleh BPN tidak berdasarkan prosedur dan legitimasi hukum yang jelas
2. Tanah di pesisir pantai mambang tidak pernah di jual putus oleh pemilik kepada PT. Sutera marosi kharisma
3. Adanya kejanggalan isi surat pemberitahuan di desa wetana dan penyampaian secara lisan kepada pemilik tanah suku ubu oleta (Kepala suku bapak galu wola kobu) yang di sampaikan oleh bapak bupati Drs.Agustinus Niga Dapa Wole dan Kepala dinas Badan pertanahan Nasional
Menurut perwakilan masyarakat suku ubu oleta bapak gallu wola kobu saat di temui oleh media mengatakan bahwa tanah di pesisir pantai mambang selama izin usaha 20 tahun tidak pernah beroprasi untuk melakukan kegiatan usaha HGB dari PT.sutera marosi karisma di tanah tersebut, maka kami masyarakat suku ubu oleta berhak untuk mengambil kembali dan mengelola sesuai kebutuhan.’Ungkapnya
(Alfred Kadda)